sekarang download 4shared ga perlu login dan ga perlu nunggu timer
caranya : copy alamat downloadnya
(misal : http://www.4shared.com/mp3/AQ3fCUoD/03_Still_Im_Sure_We_Love_Again.htm )
paste kan ke dalam generator 4shared berikut
dan klik "generate link"

4shared Generator

Izinkan Bunda menangis

Arif memandangku penuh harap.
“Boleh ya, Bunda?”
Aku tersenyum mengangguk. Arif tersenyum lebar dan memelukku.
Sesaat kemudian dia memandangku lagi, kali ini dengan tatapan
khawatir.
“Tapi Bunda bagaimana? Bunda jadi sendirian dong di rumah?”
Giliran aku yang memeluknya erat. Kuciumi kepalanya yang
berambut cepak.
“Bunda tidak apa-apa kok. Selama ini kan Arif sudah menemani dan
membantu Bunda. Sekali-sekali Arif berkumpul dan bersenang-senang dengan teman-teman pramuka.”
Memang benar. Anakku semata wayang ini selalu berusaha
menggantikan peran ayahnya yang meninggal dua tahun yang lalu.
Sepulang sekolah Arif menggantikanku menjaga toko, sementara
aku menyeterika baju-baju pelanggan yang sudah kering dijemur.
Sore menjelang maghrib Arif berkeliling mengantar baju-baju
sekaligus mengumpulkan baju-baju kotor dari pelanggan-pelanggan
yang sebagian besar adalah tetangga kami. Sebenarnya aku tidak
tega melihat tubuh kecilnya harus membawa bungkusan besar baju
di tangan kanan-kiri dan tas ransel di punggungnya, tetapi Arif
bersikeras melaksanakan tugas yang dia anggap jadi kewajibannya.

“Arif kan laki-laki sejati Bunda!” Katanya sambil menunjukkan otot
lengannya yang mungil setiap kali aku khawatir.
Malam hari, Arif juga yang selalu mengunci gembok pintu pagar,
memeriksa dan menutup semua jendela, persis seperti yang selalu
dilakukan almarhum ayahnya.
***
Sejak ayahnya meninggal, Arif berubah menjadi anak yang penurut,
sangat penurut, bertanggung jawab dan menjadi lebih dekat
denganku. Sebelumnya dia hanya dekat dengan ayahnya. Mungkin
karena aku cerewet sedangkan Mas Rahman tidak pernah sekalipun
memarahinya. Sebagai anak tunggal, Arif sering bersikap rewel dan
maunya sendiri. Meskipun tidak selalu menuruti kemauan Arif, Mas
Rahman tidak pernah sekalipun bersikap keras kepadanya.
“Sekali-sekali Ayah harus tegas kepada Arif, biar dia tidak manja!”
“Nggak kok, Bunda, Arif nggak manja. Apa yang dia lakukan, apa
yang dia minta sesuai dengan usianya.”
“Tapi dia suka merajuk kalau kemauannya tidak terpenuhi, maunya
sendiri. Belum lagi sikap kerasnya di sekolah, sering berkelahi
dengan teman-temannya,” aku ngotot dengan pendapatku.
“Kita sudah memberinya makanan yang halal. Kita sudah
memberinya teladan yang baik. Selebihnya pasrahkan saja kepada
ALLOH. Ayah yakin pada waktunya nanti Arif pasti berubah.”
Apa yang diyakini Mas Rahman benar-benar terjadi, sayang dia tidak
bisa menyaksikannya.

Meskipun tidak pernah memarahi dan menegur, Mas Rahman
sangat kuat menanamkan prinsip-prinsip seorang lelaki kepada Arif.
Seminggu sekali Arif selalu diajak latihan Tae Kwondo dan berenang.
Kebetulan Mas Rahman adalah ahli dan menjadi pelatih pada dua
bidang olahraga tersebut. Sering juga Arif diajak main bola dan
bulutangkis bersama-sama para pemuda karang taruna kelurahan.
Kemampuan lebih Mas Rahman di bidang olahraga membuatnya
dipercaya para pemuda untuk membina karang taruna.
“Arif harus menjadi lelaki sejati, tabah, kuat, dan bertanggung
jawab.”
“Siap, Yah!”
Setiap hari sepulang sholat Isya’, Mas Rahman selalu bercerita
tentang perjuangan-perjuangan para pahlawan, baik sejarah
Indonesia, shirah Nabi dan para sahabat Nabi, maupun perjuangan
rakyat negara lain seperti Palestina dan Afganistan. Mas Rahman
bercerita dengan penuh perasaan dan ekspresi. Arif pun
memperhatikannya dengan serius dan semangat.
Pernah saat menceritakan perjuangan dan penderitaan rakyat
Palestina, Mas Rahman menitikkan air mata.
“Ayah…! Katanya lelaki harus tabah, kok Ayah menangis?”
Mas Rahman tersenyum. Aku merasakan tatapan bangga di mata
Mas Rahman.
“Arif, air mata ini air mata kasih sayang. Ayah sangat menyayangi
saudara-saudara kita di Palestina, dan Ayah sangat sedih atas
penderitaan yang mereka alami.”

Arif diam tidak menanggapi, tetapi dari ekspresi wajahnya tersirat
bahwa dia masih bingung, belum puas. Mas Rahman membaca
kebingungan Arif dan meneruskan penjelasannya.
“Yang tidak boleh itu air mata cengeng. Air mata yang jatuh karena
mengasihani diri sendiri. Orang cengeng sibuk mengasihani diri
sendiri sehingga tidak sempat memikirkan kepentingan orang lain.
Sebaliknya seorang pejuang sibuk memikirkan kebahagiaan orang
banyak sehingga lupa akan kepentingannya sendiri. Baginya
berkorban adalah keharusan dan syahid jadi tujuan”.
Meskipun dari tatapan matanya kelihatan masih bingung, Arif
manggut-manggut dengan tampang seakan-akan mengerti. Gemas
melihat sikapnya, kudekap dan kuciumi kepalanya. Arif berontak
melepaskan diri.
“Ah Bunda mengganggu aja, Arif kan ingin mendengar kelanjutan
cerita Ayah!”
Begitulah Arif sangat antusias mengikuti dan menikmati setiap
kegiatan bersama ayahnya. Begitu pula dengan Mas Rahman, selalu
berusaha meluangkan waktu bersama Arif. Bahkan sering Mas
Rahman mengajak Arif saat bekerja menjalankan angkot.
***
Rasanya baru kemarin terjadi, saat aku harus mengidentifikasi
jenazah Mas Rahman di rumah sakit. Menurut cerita polisi, Mas
Rahman terluka parah saat melawan empat orang pencopet yang
sedang beraksi di angkotnya. Dua dari pencopet berhasil
dilumpuhkan Mas Rahman, sisanya melarikan diri. Tetapi karena
banyaknya luka tusuk yang diderita, Mas Rahman meninggal
kehabisan darah setibanya di rumah sakit.

Jiwaku limbung. Kutumpahkan air mataku dalam shalat malamku.
Kucurahkan semua kesedihanku kepada Tuhan Yang Maha
Penyayang. Siang hari kuhabiskan air mataku dengan membaca Al
Qur’an.
Sampai suatu malam, beberapa hari sepeninggal Mas Rahman,
seperti ada kekuatan lain yang membelokkan arah kakiku, sesudah
berwudhu aku masuk ke kamar Arif. Kulihat tubuh mungil itu tidur
meringkuk. Dari tarikan napasnya yang tidak teratur aku tahu
bahwa Arif belum terlelap. Wajah anakku tampak lebih kurus dan
pucat.
“Arif belum tidur, Nak…?” kubelai kepalanya dan kukecup
keningnya. Arif mengangguk sambil membuka matanya yang
cekung. Bibirnya tersenyum, tetapi pancaran matanya sangat redup,
hampir tak kutemukan cahaya di dalamnya.
Ya ALLOH, aku terlalu larut dalam kesedihanku sendiri, sehingga
tidak peduli bahwa ada yang menanggung kesedihan tidak kalah
besar denganku. Anakku yang baru berusia enam tahun harus
menanggung beban kesedihan yang berat.
“Tidurlah, Nak…Sudah lewat tengah malam.”
“Arif kangen Ayah, Bunda…” Suara Arif bergetar. Aku tersadar
bahwa sejak meninggalnya Mas Rahman, Arif tidak menangis
sekalipun. Atau aku saja yang tidak mengetahui saat dia menangis.
“Menangislah bila ingin menangis, Nak…!”
“Tapi Bunda…, Ayah ingin Arif menjadi lelaki yang tabah dan kuat.”
Aku tak kuasa lagi menahan jatuhnya air mataku.

“Ayah kan juga pernah bilang, bahwa tidak apa-apa menangis
karena rasa sayang… ”.
Entah karena kata-kataku, atau karena melihatku menangis, Arif
mendekapku dan menangis tersedu. Kubiarkan dia menumpahkan
air matanya di dekapanku. Ingin kuserap semua duka yang
membebani jiwanya. Beberapa menit kami berdekapan larut dalam
tangis.
“Arif minta maaf Bunda, bila selama ini sering membuat Bunda
sedih dan kecewa.” Setelah tangisnya reda, Arif berkata dengan
suara serak dan terbata-bata.
Aku tidak menjawab, hanya membelai lembut kepalanya.
“Arif janji, mulai saat ini Arif akan selalu menjaga dan
membahagiakan Bunda.”
Sekali lagi aku tidak menjawab, bersyukur di dalam hati,
”ALHAMDULILLAH ya ALLOH atas anugerah anak yang sholih,
semoga hamba bisa menjaga amanah ini.”
Setelah malam itu, berangsur-angsur keceriaan Arif pulih seperti
sedia kala, meskipun beberapa kali kutemui dia menangis saat
membaca Al Qur’an di kamarnya.
Sikap dan sifat Arif berubah. Menurut cerita wali kelasnya, Arif
berubah menjadi suka menolong teman-teman dan gurunya,
terutama di bidang yang dia kuasai, olahraga. Tidak pernah lagi dia
berkelahi dengan temannya.
***

“Bunda, Ayah meninggal syahid, ya?”
Aku membantu Arif mengemasi perlengkapan untuk berkemah esok
pagi.
“Insya ALLOH, Nak…Ayah kan meninggal saat membela orang yang
lemah dan melawan kejahatan.”
“Syahid itu enak ya, Bunda?”
“Tentu saja. Setiap orang beriman pasti menginginkan syahid,
karena banyak sekali kemuliaan yang didapat orang yang mati
syahid.”
“Arif ingin syahid juga, Bunda.”
Aku berhenti melipat baju, duduk mendekati Arif dan membelai
kepalanya.
“Berdoalah, Nak…Doakan Bunda juga, ya…”
Hampir semalaman aku tidak bisa tidur di kamar Arif. Kupandangi
wajah anakku yang tertidur pulas. Aku sangat bangga dan bersyukur
memiliki anak yang sholih, harta yang tak ternilai, belahan jiwaku.
Untuk pertama kalinya aku harus merelakan belahan jiwaku
berkemah bersama guru dan teman-temannya. Berat sekali, tapi
aku harus melakukannya, karena Arif harus belajar menjadi lelaki
yang tangguh dan mandiri. Aku tidak ingin Arif tumbuh menjadi
lelaki yang lemah dan tergantung pada ibunya.
***
Pagi-pagi sekali aku berangkat ke pasar karena aku tidak mau
kehabisan lidah sapi. Hari ini aku akan masak semur lidah, masakan
kesukaan Arif. Sore nanti waktunya Arif datang dari berkemah.


Kubayangkan betapa lahapnya nanti dia menikmati semur lidah
setelah beberapa hari makan makanan yang terbatas di
perkemahan. Saat becak yang kunaiki sampai di mulut gang, hatiku
berdesir, perasaanku tidak enak melihat kerumunan orang
memenuhi gang rumahku. Tampak sebuah ambulan diparkir
beberapa meter dari mulut gang. Berdebar-debar aku berjalan
cepat menembus kerumunan orang, para tetanggaku. Sebagian ibu
memelukku, “Yang sabar Bu Rahman…”. Hatiku semakin tak karuan,
langkahku kupercepat.
Sesampai di depan rumah, jantungku seperti berhenti berdetak. Di
kursi teras rumahku tampak terbaring tubuh mungil Arif anakku.
Aku memburu mendekat, tak kuhiraukan lagi barang-barang
belanjaanku. Tubuh anakku terbujur kaku, beku.
”Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Rojiun.” Lidahku kelu. Bu Anna wali kelas
Arif mendekapku sambil menangis.
“Maafkan kami, Bu Rahman, kami tidak bisa amanah menjaga
Arif…” Terbata-bata dia kemudian menceritakan kejadian yang
menimpa Arif. Empat orang teman Arif berbuat nakal. Mereka main
di sungai, padahal sudah dilarang oleh bapak guru pembina
Pramuka. Tiba-tiba datang air bah, bapak-bapak guru berusaha
menyelamatkan anak-anak yang hanyut, tetapi karena jumlah Bapak
guru yang terbatas, ada satu anak yang tidak sempat diraih bapak
guru. Arif berenang berusaha menyelamatkan temannya. Temannya
berhasil dibawa ke pinggir, tetapi karena arus yang sangat deras,
dan tubuh mungil Arif kehabisan tenaga, justru Arif yang terbawa
arus. Tubuhnya baru bisa diselamatkan sekitar satu kilometer dari
tempat kejadian karena tersangkut di akar pohon tepi sungai.


Aku hanya terdiam mengusap wajah anakku yang dingin. Kubelai
rambutnya yang basah. Kucium keningnya sambil bergumam lemah,
“Selamat jalan anakku…Insya ALLOH kau sudah bertemu syahid.


Izinkan Bunda menangis…Air mata ini air mata sayang, Nak….”