MENDENGARKAN pikiran mereka yg berada d lapangan, akar rumput, cukup menarik. Suara mereka benar-benar berbeda dg suara mereka yg ada d media massa. Berbeda dg suara politisi, baik gagasan koalisi pemerintah SBY maupun yg beroposisi. Selama ini yg kita dengar adalah suara sebagian elite yg mempunyai dan mengusai akses ke media massa.
Elite-elite politik, sebagian ada yg menarget supaya Sri Mulyani nonaktif dari jabatannya sebagai Menkeu, terkait dg kasus Bank Century yg sekarang diramaikan d Pansus DPR-RI. Ada lagi yg lebih jauh lagi, memaksa Sri Mulyani meletakkan jabatannya. Bagi mereka, Sri Mulyani adalah titik masalah dan harus mempertanggungjawabkan segala yg menjadi pokok kekisruhan.
Begitu pula elite-elite lain yg menginginkan Boediono, yg kala itu Gubernur BI, nonaktif dari jabatan Wapres yg diemban sekarang. Sama seperti Sri Mulyani d atas, sebagian elite juga berharap Boediono meletakkan jabatannya. Kedua tokoh ini benar-benar menjadi target politik, disingkirkan dari jabatan yg ada.
Tetapi yg menarik, apakah kaum elite ini tidak menyadari sesungguhnya gagasan mereka konyol. Dalam posisi mereka d parpol maupun parlemen, seyogianya sudah paham referensi tersahih d Konstitusi. Seorang rekan langsung menyambar dg sinisme kemalasan para politisi membaca referensi. Sehingga, politisi, suka asal njemplak. Namun seorang rekan lain memotong, justru para elite dan politikus tersebut sadar gagasan mereka menyimpang dari Konstitusi. Para politisi itu tengah bermain d wilayah politik, d mana apa pun itu adalah niscaya.
Jadi, masih menurut penganut politik macam ini, tidak ada yg mustahil dalam politik. Sepanjang keputusan terakhir belum terjadi dan belum terlaksana, selalu terbuka peluang untuk bermanuver. Entah menggoyang situasi ataupun mengacaukannya supaya selaras dg target politik yg disasar. Inilah yg sesungguhnya tengah berlangsung dalam gonjang-ganjing politik dan kasus Century.
Sedangkan demo-demo yg tuntutannya setali tiga uang dg yg didesakkan para elite d atas, jadi pernak-pernik panggung politik. Kehadirannya bukan sebagai subyek utama, melainkan peran pembantu dalam teater yg tengah dipentaskan. Bukan berarti tidak penting. Penting sekali bahkan. Sebab, kehadiran dan aksi para aktivis tersebut, oleh para elite politik yg menarget Sri Mulyani dan Boediono, dimaknai sebagai suara rakyat. Jadi, jika para aktivis itu berteriak lantang dan mengusung spanduk besar dg kalimat kasar dan jauh dari etika, itulah yg mau dikatakan rakyat. Seakan-akan itu opini publik yg sejatinya menguasai wacana politik berkembang sekarang.
Tetapi yg dikatakan mereka yg akar rumput justru mengagetkan saya. Mereka mengatakan Pansus Century yg ada sekarang sudah keluar jalur. Dari 30 anggota DPR d Pansus tersebut, sebagian sudah menyimpang dari makna Pansus. Jadi bukan lagi untuk membuka tabir gelap kasus Century, memastikan benar-tidaknya dulu berdampak sistemik serta mengetahui aliran dana. Orang-orang yg bukan elite politik ini sama sekali tidak melihat jalannya pansus ke situ. Sebaliknya wong cilik ini malah menuding jangan-jangan para politisi yg galak itu, baik dari oposisi dan koalisi, memang menarget orang per-orang. Artinya bukan cuma melengserkan Sri Mulyani dan Boediono, tapi SBY sekaligus.
Pernyataan orang-orang bawah tersebut mungkin memang ada benarnya. Sebab ia selaras dg statemen mereka yg d Pansus, baik yg berlatar koalisi maupun oposisi, yg terang-terangan menarget SBY. Juga, bukankah ada figur-figur tertentu yg ingin jadi Wapres tanpa lewat pemilu. Juga yg sekalian mau jadi Presiden.
caranya : copy alamat downloadnya
(misal : http://www.4shared.com/mp3/AQ3fCUoD/03_Still_Im_Sure_We_Love_Again.htm )
paste kan ke dalam generator 4shared berikut
dan klik "generate link"
Target Sri Mulyani di nonaktif
Labels:
politik